KPU Kab. Brebes yang dalam hal ini diwakili oleh Widiyawati, S.P (Divisi Sosialisasi dan Pendidikan Pemilih) dan H. Masykuri, S.Pd. (Divisi Teknis Penyelenggara) menghadiri Seminar Nasional yang digelar tanggal 29 Juli 2010 di Balairung Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga. Seminar yang diselenggarakan oleh Biro Pusat Penelitian, Publikasi dan Pengabdian Masyarakat UKSW ini membahas tentang Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Langsung atau Tidak Langsung.
Sebagaimana diketahui, pelaksanaan Pemilukada secara Langsung telah berjalan sejak 2005 hingga sekarang. Pemilukada yang telah digelar ini, memiliki dampak positif dan negatif. Dampak positifnya sebagaimana hasil penelitian Lili Romli (2006) diantaranya adalah dapat memutus oligarki yang dilakukan sekelompok elit dalam penentuan Kepala Daerah, memperkuat check and balances dengan DRPD, adanya legitimasi yang kuat bagi Kepala Daerah terpilih karena langsung mendapat mandat dari rakyat, kemudian menghasilkan Kepala Daerah yang akuntabel dan menghasilkan Kepala Daerah yang lebih peka dan responsif terhadap tuntutan rakyat. Sedangkan sisi negatifnya adalah seperti kinerja penyelenggara dan pengawas Pemilukada yang belum baik dan kurang tegas, tingkat partisipasi pemilih yang cukup rendah, pelaksanaan kampanye yang lebih mengarah pada kampanye hitam (balck campaign), maraknya politik uang dengan beragam modus, biaya penyelenggaraan yang cukup besar baik dari Pemerintah maupun Pasangan Calon (biaya politik tinggi), penyelesaian sengketa yang timbul saat proses dan pasca Pemilukada yang belum jelas dan terkesan tumpang tindih, serta kualifikasi dan kompetensi calon.
Hadir sebagai pembicara dalam kegiatan ini adalah Pimpinan DPRD Propinsi Jawa Tengah yang diwakili oleh Drs. Abdullah Fikri Fakih, M.M yang menyampaikan pandangan DPRD terhadap penyelenggaraan Pemilukada selama ini dengan simpulan akhir : mengacu pada pasal 18 ayat (4) UUD Tahun 1945, cara pengisian jabatan gubernur, bupati dan walikota tidak dengan cara pengangkatan karena jelas hal ini tidak demokratis. Menurut beliau pengisian jabatan langsung ataupun tidak langsung hanyalah cara, keduanya demikratis dan konstitusional. Oleh karena itu ke depan perlu direkonstruksi kembali secara komprehensif sebagai pilihan politik yang terbaik. Gagasan akhir yang muncul adalah khusus untuk Pilgub (Pemilu Gubernur) dilaukan secara tida langsung karena Gubernur adalah wakil Pemerintah Pusat namun untuk Pilbub dan Pilwakot (yang sekarang Pemilukada) tetap dilakukan secara langsung oleh rakyat.
Pembicara kedua Prof. Dr. Ir. Kutut Suwondo, M.S, Guru BesarSosiologi Program Pascasarjana UKSW Salatiga, menyampaikan materi mengenai Pemilihan Kepala Daerah Langsung atau Tidak Langsung. Dalam paparannya beliau menjelaskan bahwa Pemilukada keberhasilannya tergantung pada perilaku elit politik, institusi demokrasi dan kesadaran rakyat. Beliau menyoroti masalah maraknya penggunaan politik uang, penggunaan kekerasan dan ancaman , mahalnya biaya pemilukada dan fenomena belum terpilihnya pemimpin yang baik. Hal ini merupakan suatu budaya baru karena bagaimana pun money politics yang dianggap tidak etis tetapi cukup diminati oleh rakyat sebagaimana pula munculnya beberapa kandidat yang memiliki perilaku tidak terpuji. Solusi untuk langkah ke depan yang ditawarkan adalah harus adanya kepastian kedaulatan di tangan rakyat, perlunya perbaikan institusi demokrasi, perlu diperbaiki Undang-Undangnya, pentingnya pendidikan politik bagi rakyat dan pentingnya pengawasan dari banyak pihak dalam proses pemilukada baik oleh rakyat, parpol maupun LSM.
Pemateri ketiga adalah Saudara Hasyim Asy’ari, SH, M.Si, Dosen Fakultas Hukum UNDIP Semarang yang juga mantan Anggota KPU Propinsi Jawa Tengah dengan materi Model-model pengisian jabatan Kepala Daerah : Mempertahankan Pilkada Langsung. Penyampaiannya beliau memaparkan setidaknya ada empat model pengisian Kepala Daera, yaitu Kepala daerah dipilih secara tidak langsung sebagaimana Walikota di Jakarta. Model kedua, kepala daerah dipilih secara tidak langsung bertingkat dimana DPRD memilih beberapa calon kepala daerah yang selanjutnya diajukan kepada pejabat pemerintah di atasnya (Mendagri untuk memilih Bupati/Walikota, dan Presiden untuk memilih Gubernur). Model ketiga , kepala daerah dipilih secara tidak langsung oleh DPRD. Dan model keempat, kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat-pemilih melalui Pemilu. Beliau menambahkan ada satu model lagi yang tidak termasuk dalam pemilihan namun termasuk dalam pengisian kepemimpinan yaitu model pewarisannsebagaimana yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan model Kesultanan.
Dari model-model yang ada beliau mempertahankan model keempat yaitu kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat melalui Pemilu. Dengan model ini secara konstitusional sesuai dengan UUD 1945 dimana dalam pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, maka rakyatlah yang berhak menetukan kepala daerahnya. Demikian pula sistem pemerintahan Presidensiil dimana salah satu cirinya bahwa pejabat eksekutif dipilih secara langsung oleh rakyat-pemilih. Selain itu, argumentasi secara politik bahwa dengan pelikada langsung merupakan basis legitimasi bagi kepala daerah, demikian pula berjalannya pemerintah daerah diperlukan stabilitas politik dengan keseimbangan kekuatan politik anata kepala daerah dan DPRD. Dan apabila Gubernur tida dipilih langsung oleh rakyat dan tidak pula dipilih oleh DPRD melainkan ditunjuk /diangkat oleh Presiden maka terdapat problem konstitusional. Dari berbagai pertimbangan tersebut maka rekomendasinya adalah bahwa pemilu dipertahankan dengan mekanisme pemilihan secara langsung oleh rakyat-pemilih melalui pemilu dan diperlukan penataan pelembagaan waktu penyelenggaraan pemilu menjadi dua waktu yaitu pemilu nasional dan pemilu lokal. Dan tidak kalah penting adalah partai politik harus segera merevitalisasi diri dan mengoptimalkan perannya, terutama dalam pendidikan politik, rekruitmen politik dan artikulasi kepentingan politik rakyat.
Dari hasil diskusi Seminar Nasional Pemilihan Kepala Daerah & Wakil Kepala Daerah langsung atau tidak langsung ini belum ada gambaran mengerucut hanya wacana kelebihan dan kekurangannya apabila dilakukan langsung atau tidak langsung. Hanya satu pembicara yang merekomendasikan bahwa pelaksanaan pemilukada tetap langsung dipilih oleh rakyat-pemilih. Namun disepakati bahwa proses dan hasil akhir Pemilukada adalah demi kesejahteraan rakyat. Namun seyogyanya kita gunakan kaidah one man, one vote and one value. (Widiyawati, KPUD Brebes)
KPU Kab. Brebes yang dalam hal ini diwakili oleh Widiyawati, S.P (Divisi Sosialisasi dan Pendidikan Pemilih) dan H. Masykuri, S.Pd. (Divisi Teknis Penyelenggara) menghadiri Seminar Nasional yang digelar tanggal 29 Juli 2010 di Balairung Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga. Seminar yang diselenggarakan oleh Biro Pusat Penelitian, Publikasi dan Pengabdian Masyarakat UKSW ini membahas tentang Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Langsung atau Tidak Langsung.
Sebagaimana diketahui, pelaksanaan Pemilukada secara Langsung telah berjalan sejak 2005 hingga sekarang. Pemilukada yang telah digelar ini, memiliki dampak positif dan negatif. Dampak positifnya sebagaimana hasil penelitian Lili Romli (2006) diantaranya adalah dapat memutus oligarki yang dilakukan sekelompok elit dalam penentuan Kepala Daerah, memperkuat check and balances dengan DRPD, adanya legitimasi yang kuat bagi Kepala Daerah terpilih karena langsung mendapat mandat dari rakyat, kemudian menghasilkan Kepala Daerah yang akuntabel dan menghasilkan Kepala Daerah yang lebih peka dan responsif terhadap tuntutan rakyat. Sedangkan sisi negatifnya adalah seperti kinerja penyelenggara dan pengawas Pemilukada yang belum baik dan kurang tegas, tingkat partisipasi pemilih yang cukup rendah, pelaksanaan kampanye yang lebih mengarah pada kampanye hitam (balck campaign), maraknya politik uang dengan beragam modus, biaya penyelenggaraan yang cukup besar baik dari Pemerintah maupun Pasangan Calon (biaya politik tinggi), penyelesaian sengketa yang timbul saat proses dan pasca Pemilukada yang belum jelas dan terkesan tumpang tindih, serta kualifikasi dan kompetensi calon.
Hadir sebagai pembicara dalam kegiatan ini adalah Pimpinan DPRD Propinsi Jawa Tengah yang diwakili oleh Drs. Abdullah Fikri Fakih, M.M yang menyampaikan pandangan DPRD terhadap penyelenggaraan Pemilukada selama ini dengan simpulan akhir : mengacu pada pasal 18 ayat (4) UUD Tahun 1945, cara pengisian jabatan gubernur, bupati dan walikota tidak dengan cara pengangkatan karena jelas hal ini tidak demokratis. Menurut beliau pengisian jabatan langsung ataupun tidak langsung hanyalah cara, keduanya demikratis dan konstitusional. Oleh karena itu ke depan perlu direkonstruksi kembali secara komprehensif sebagai pilihan politik yang terbaik. Gagasan akhir yang muncul adalah khusus untuk Pilgub (Pemilu Gubernur) dilaukan secara tida langsung karena Gubernur adalah wakil Pemerintah Pusat namun untuk Pilbub dan Pilwakot (yang sekarang Pemilukada) tetap dilakukan secara langsung oleh rakyat.
Pembicara kedua Prof. Dr. Ir. Kutut Suwondo, M.S, Guru BesarSosiologi Program Pascasarjana UKSW Salatiga, menyampaikan materi mengenai Pemilihan Kepala Daerah Langsung atau Tidak Langsung. Dalam paparannya beliau menjelaskan bahwa Pemilukada keberhasilannya tergantung pada perilaku elit politik, institusi demokrasi dan kesadaran rakyat. Beliau menyoroti masalah maraknya penggunaan politik uang, penggunaan kekerasan dan ancaman , mahalnya biaya pemilukada dan fenomena belum terpilihnya pemimpin yang baik. Hal ini merupakan suatu budaya baru karena bagaimana pun money politics yang dianggap tidak etis tetapi cukup diminati oleh rakyat sebagaimana pula munculnya beberapa kandidat yang memiliki perilaku tidak terpuji. Solusi untuk langkah ke depan yang ditawarkan adalah harus adanya kepastian kedaulatan di tangan rakyat, perlunya perbaikan institusi demokrasi, perlu diperbaiki Undang-Undangnya, pentingnya pendidikan politik bagi rakyat dan pentingnya pengawasan dari banyak pihak dalam proses pemilukada baik oleh rakyat, parpol maupun LSM.
Pemateri ketiga adalah Saudara Hasyim Asy’ari, SH, M.Si, Dosen Fakultas Hukum UNDIP Semarang yang juga mantan Anggota KPU Propinsi Jawa Tengah dengan materi Model-model pengisian jabatan Kepala Daerah : Mempertahankan Pilkada Langsung. Penyampaiannya beliau memaparkan setidaknya ada empat model pengisian Kepala Daera, yaitu Kepala daerah dipilih secara tidak langsung sebagaimana Walikota di Jakarta. Model kedua, kepala daerah dipilih secara tidak langsung bertingkat dimana DPRD memilih beberapa calon kepala daerah yang selanjutnya diajukan kepada pejabat pemerintah di atasnya (Mendagri untuk memilih Bupati/Walikota, dan Presiden untuk memilih Gubernur). Model ketiga , kepala daerah dipilih secara tidak langsung oleh DPRD. Dan model keempat, kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat-pemilih melalui Pemilu. Beliau menambahkan ada satu model lagi yang tidak termasuk dalam pemilihan namun termasuk dalam pengisian kepemimpinan yaitu model pewarisannsebagaimana yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan model Kesultanan.
Dari model-model yang ada beliau mempertahankan model keempat yaitu kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat melalui Pemilu. Dengan model ini secara konstitusional sesuai dengan UUD 1945 dimana dalam pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, maka rakyatlah yang berhak menetukan kepala daerahnya. Demikian pula sistem pemerintahan Presidensiil dimana salah satu cirinya bahwa pejabat eksekutif dipilih secara langsung oleh rakyat-pemilih. Selain itu, argumentasi secara politik bahwa dengan pelikada langsung merupakan basis legitimasi bagi kepala daerah, demikian pula berjalannya pemerintah daerah diperlukan stabilitas politik dengan keseimbangan kekuatan politik anata kepala daerah dan DPRD. Dan apabila Gubernur tida dipilih langsung oleh rakyat dan tidak pula dipilih oleh DPRD melainkan ditunjuk /diangkat oleh Presiden maka terdapat problem konstitusional. Dari berbagai pertimbangan tersebut maka rekomendasinya adalah bahwa pemilu dipertahankan dengan mekanisme pemilihan secara langsung oleh rakyat-pemilih melalui pemilu dan diperlukan penataan pelembagaan waktu penyelenggaraan pemilu menjadi dua waktu yaitu pemilu nasional dan pemilu lokal. Dan tidak kalah penting adalah partai politik harus segera merevitalisasi diri dan mengoptimalkan perannya, terutama dalam pendidikan politik, rekruitmen politik dan artikulasi kepentingan politik rakyat.
Dari hasil diskusi Seminar Nasional Pemilihan Kepala Daerah & Wakil Kepala Daerah langsung atau tidak langsung ini belum ada gambaran mengerucut hanya wacana kelebihan dan kekurangannya apabila dilakukan langsung atau tidak langsung. Hanya satu pembicara yang merekomendasikan bahwa pelaksanaan pemilukada tetap langsung dipilih oleh rakyat-pemilih. Namun disepakati bahwa proses dan hasil akhir Pemilukada adalah demi kesejahteraan rakyat. Namun seyogyanya kita gunakan kaidah one man, one vote and one value. (Widiyawati, KPUD Brebes)
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus